• Arsip

  • Kategori

  • Online

  • Angka Statistik

    wordpress blog stats

Wawancara M. Nur El Ibrahimy dengan Majalah TEMPO, Setahun Sebelum Beliau Wafat


FREE_P2908200300136 (2)

Beberapa kemelut berdarah membuat Aceh hancur dan terbelakang. Tapi sejarah harus tetap ditulis-bahkan dari kehancuran-untuk memberikan ikhtisar kebenaran kepada generasi yang lebih kemudian (M. Nur El Ibrahimy)

Muhammad Nur El Ibrahimy ibarat kaleidoskop dalam perjalanan sejarah Aceh. Al Khalik memberinya usia yang panjang sehingga ia dapat menyaksikan pergolakan demi pergolakan di negeri itu, sejak Perang Cumbok di masa awal kemerdekaan hingga pergolakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-yang kian menghebat dalam dua tahun terakhir ini. Dan Ibrahimy tidak hanya mengamati pergolakan dari jauh.

Pada periode 1945-1950, ia terjun langsung ke kancah pertempuran. Ketika pertentangan antara kaum ulama dan para hulubalang-dua kelompok dalam masyarakat Aceh yang secara tradisional berseberangan-memuncak dalam Perang Cumbok (sering juga disebut Peristiwa Cumbok), pria kelahiran Idi, Aceh Timur, ini memimpin pasukan dengan seribu anggota.

Pada 12 Januari 1946, ia membawa pasukannya dari Aceh Utara dan Pidie, lalu bergerak dari Bireun untuk menyerang kalangan Cumbok. Lebih merupakan perang saudara, Peristiwa Cumbok dapat diatasi pada tahun 1946 itu juga.

Kendati berpengalaman dalam clash bersenjata, Ibrahimy tidak melanjutkan karirnya di bidang militer. Ia justru merekam pengalaman itu dalam berbagai tulisan. Beberapa bukunya telah diterbitkan, di antaranya tentang Teungku Daud Beureueh, pemimpin Gerakan Daud Beureueh (1953-1962)-dalam buku sejarah ditulis sebagai gerakan pemberontakan. Seluruh perjalanan hidup dan sepak terjang Daud Beureueh-tak lain adalah bapak mertua Ibrahimy-ia kumpulkan dalam buku berjudul Tgk. M. Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh. 

Namun, ia sadar, menulis sejarah-lebih-lebih yang mengungkap gejolak revolusi-membuatnya terpaksa menyinggung hal-hal yang telah lama terbenam dan seperti mencoba membangkitkan batang yang terendam.

Maka, dalam hal Aceh, tak semuanya bisa dibicarakan. Ada hal-hal yang sebaiknya kita pendam saja dalam guci-guci sejarah,” ujarnya kepada TEMPO.

Pertautan Ibrahimy dengan Teungku Daud-bekas pemberontak yang sangat dimuliakan oleh rakyat Aceh-terjalin melalui pernikahannya dengan Mariamah Nur, anak pertama sang Teungku. Keduanya telah bersama selama 62 tahun. Namun, sembilan tahun terakhir, Mariamah tak bisa lagi bercakap-cakap. Ia terbaring tanpa sadar di tempat tidur akibat stroke. Ternyata bukan hanya itu yang membuat Ibrahimy sulit tidur selama bertahun-tahun.

Tapi juga karena saya memikirkan Aceh,” ujarnya dalam suara bergetar. Itu pula alasannya menerima wawancara TEMPO.

Saya ingin sejarah Aceh dituliskan sebagaimana aslinya, tanpa harus diputarbalikkan,” ia melanjutkan.

Di masa mudanya (1930-1935), ia belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo. Ketika Aceh bergolak di awal kemerdekaan, Ibrahimy memilih aktif dalam dinas ketentaraan. Pada 1946, ia diangkat menjadi Kepala Staf Penerangan dan Pendidikan Tentara Rakyat Indonesia, Divisi Gajah 1 Aceh, dengan pangkat mayor. Dari bidang militer, ayah empat anak ini kemudian pindah ke dunia parlemen. Ia menjadi anggota DPR RI selama dua periode. Dalam periode pertama (1950-1955), ia mewakili Daerah Aceh. Periode berikutnya (1955-1960), ia duduk sebagai wakil Partai Masyumi.

Kini, dengan uang pensiun sebagai anggota DPR, H.M. Nur El Ibrahimy hidup sederhana. Fisiknya sudah amat rapuh. Namun, ingatannya akan detail-detail sejarah Aceh seperti menggetarkan kembali saraf-sarafnya yang tua.

Beberapa kemelut berdarah membuat Aceh hancur dan terbelakang. Tapi sejarah harus tetap ditulis-bahkan dari kehancuran-untuk memberikan ikhtisar kebenaran kepada generasi yang lebih kemudian,” tulis Ibrahimy di salah satu bukunya.

Wartawan TEMPO Setiyardi menemuinya pekan lalu-dalam suasana bulan Ramadan-di kediamannya, di Jalan Tebet Barat IV/16, Jakarta Selatan, untuk sebuah wawancara khusus.

Maaf, saya sudah tidak kuat lagi berpuasa. Sebagai denda, saya membayar fidyah kepada fakir miskin,” katanya.

***

Berikut ini petikan wawancara dengan Ibrahimy:
_____________________________________

Aceh dikenal memberikan banyak dukungan ekonomi kepada RI sejak masa awal kemerdekaan. Apa saja sumbangan Aceh di luar pembelian pesawat pertama RI?

Rakyat Aceh mengumpulkan strait dollar (S$) untuk biaya kantor perwakilan Indonesia di Singapura, untuk Kedutaan Besar RI di India, serta biaya untuk L.N. Palar-duta besar Indonesia pertama di PBB (1950-1953)-di New York.

Berapa uang yang terkumpul untuk keperluan tersebut?

Saya tidak punya catatan khusus. Tapi jumlahnya sangat besar. Sebagai contoh, selama Oktober-Desember 1949 saja, terkumpul S$ 500 ribu untuk keperluan pemerintah. Kemudian, rakyat Aceh mengumpulkan lagi 5 kilogram emas untuk membeli obligasi pemerintah. Saat itu, pemerintah kita sudah nyaris bangkrut.

Ke mana saja uang S$ 500 ribu itu ”dibagikan”?

Saya masih menyimpan sebagian catatannya, antara lain untuk Angkatan Bersenjata (S$ 250 ribu), kantor pemerintah Indonesia (S$ 50 ribu), pengembalian pemerintah RI dari Yogya (S$ 100 ribu), dan S$ 100 ribu diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis. Banyak lagi pengeluaran lain, tapi tidak semuanya tercatat.

Tentang obligasi di atas. Dari mana rakyat Aceh tahu tentang penjualan obligasi?

Teungku Daud Beureueh yang memberi tahu. ”Pemerintah kita hampir bangkrut. Beli… beli obligasi pemerintah,” katanya. Rakyat Aceh tidak ada yang berani menentang. Celakanya, kepercayaan rakyat disia-siakan. Sampai kini, obligasi itu tidak pernah dibayar.

Di luar soal ekonomi, Aceh juga berperan dalam pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), 1948-1949. Sejauh mana dukungan Aceh saat itu?

Kami menerima Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Presiden PDRI, yang hijrah dari Bukittinggi ke Aceh karena situasi di Bukittinggi tidak aman.

Dan Mr. Sjafruddin pula yang membentuk Provinsi Aceh, yang ditentang Bung Karno. Bagaimana ceritanya?

Setelah ia tiba di Aceh, saya, Teungku Daud Beureueh, Hasan Aly, Ayah Gani, dan Teuku Amin meminta agar Provinsi Aceh segera dibentuk. Tapi, baru delapan bulan berdiri, Provinsi Aceh dibubarkan. Ibaratnya, tiket yang sudah di tangan ditarik lagi oleh pemerintah pusat. Okelah kalau janji-janji lain tidak ditepati. Tapi jangan tiket yang sudah di tangan ditarik lagi.

Sjafruddin adalah tokoh Masyumi. Menurut Teungku Syech Marhaban-penasihat Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)-ada peran Masyumi dalam kemunduran Aceh. Apa pendapat Anda?

Tidak benar. Provinsi Aceh dibubarkan oleh Kabinet Halim (Januari-September 1950) dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 yang ditandatangani oleh Penjabat Presiden Mr. Asaat dan Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtoprodjo. Dan Susanto orang PNI, bukan Masyumi.

Seberapa dalam kekecewaan Aceh karena pemerintah menarik “tiket yang sudah di tangan?”

Itu hanya awal kekecewaan rakyat. Pada Maret 1955, terjadi pembunuhan massal. Ada 64 orang yang tidak bersalah di kampung Cot Jeumpa, Aceh Besar, dibariskan di lapangan, lalu ditembak.

Bukankah mereka dibunuh karena terlibat gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)?

Waktu itu memang ada DI/TII. Tapi mereka bukan yang bersalah. Mereka cuma ikut-ikutan.

Bagaimana sebetulnya hubungan Gerakan Daud Beureueh dengan DI/TII Kartosuwiryo?

Negara Islam Aceh sengaja dicantolkan dengan Gerakan Kartosuwiryo demi kepentingan politik. Padahal, secara struktural, tidak ada hubungan antara Negara Islam Aceh dan gerakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Kartosuwiryo pernah mengirim seorang utusan kepada Teungku Daud. Lalu, pada 21 September 1953, bukankah Teungku Daud memaklumkan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) berdasarkan pernyataan Negara Republik Islam Indonesia oleh Kartosuwiryo pada Agustus 1949?

Memang Kartosuwiryo pernah mengutus seorang pemuda bernama Fatah untuk menemui Teungku Daud. Tapi hal itu tidak menunjukkan bahwa Negara Islam Aceh merupakan bagian dari DI/TII Kartosuwiryo. Apalagi, saat meletus pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, 1957-1961-Red.), Teungku Daud memutuskan “hubungan” dengan DI/TII Kartosuwiryo, yang sudah hampir ditumpas. Ia kemudian beralih ke PRRI.

Dasar pemberontakan Daud Beureueh dan PRRI amat berbeda. Yang satu perjuangan agama, yang lain cenderung sekuler. Mengapa mau bersatu?

Latar belakang kedua gerakan ini memang sangat berbeda. Tapi ada persamaan sikap politik, yaitu menentang dominasi pemerintah RI. Tujuan jangka pendeknya adalah agar Bung Karno cepat jatuh.

Bukankah Kolonel Simbolon, Panglima Teritorium dan Tentara (TT) I/Bukit Barisan, yang akhirnya menjadi tokoh PRRI, pernah menumpas Gerakan Daud Beureueh?

Itu kan dilakukan Simbolon sebelum bergabung dengan PRRI. Waktu itu, Simbolon bertempur untuk melawan gerakan DI/TII Daud Beureueh. Tapi, setelah Simbolon melakukan pemberontakan PRRI, mereka bisa saling mendukung. Rakyat Aceh sebetulnya sangat mendukung Gerakan Daud Beureueh.

Tapi mengapa bisa dipatahkan oleh tentara?

Pada mulanya, semua pihak di Aceh mendukung Gerakan Daud Beureueh. Tapi, setelah sembilan tahun, rakyat mulai bosan. Akhirnya, ada satu kelompok yang membentuk Dewan Revolusi yang dipimpin Hasan Saleh. Mereka memisahkan diri dari Teungku Daud dan berunding dengan pemerintah Indonesia.

Kabarnya, Teungku Daud sampai ”menghalalkan darah” Hasan Saleh?

Kalau orang sedang marah, semua hal bisa diucapkan. Sebelum dicopot, Hasan menjadi menteri urusan perang dalam Gerakan Teungku Daud.

Tapi perundingan Hasan Saleh bukankah bisa menghasilkan status daerah istimewa bagi Aceh?

Benar. Mr. Hardi, wakil pemerintah, bertemu dengan Hasan Saleh dan Ali Hasjmy, membentuk Daerah Istimewa Aceh. Tapi itu hanyalah trik. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa konsep ”daerah istimewa” tetap terkait dengan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Berarti, keistimewaan itu omong kosong belaka.

Mengapa ”omong kosong” itu bisa berlangsung lama?

Memang mengherankan-betapa penipuan itu berlangsung puluhan tahun, sampai tumbangnya rezim Soeharto. Anehnya, tiap tahun, Pemerintah Daerah Aceh merayakan ulang tahun pemberian status ”daerah istimewa” tersebut.

Sebagai wakil Aceh di DPR RI ketika itu, apa yang Anda lakukan?

Saat terjadi pemberontakan, Kolonel M. Yasin, Panglima TT I/Bukit Barisan, memerintahkan agar Nya’ Adam Kamil, Kepala Staf Kodam, menghubungi saya. Mereka meminta saya pulang untuk memecahkan deadlock antara tentara dan Teungku Daud. Saya menemui Teungku Daud di hutan. Kami berdialog selama lima hari lima malam. Akhirnya, mereka setuju turun dan kembali ke pangkuan RI.

Dengan syarat Aceh boleh menerapkan syariat Islam?

Benar. Pesan itu saya sampaikan kepada Kolonel Yasin. Ia lalu mengadakan rapat bersama gubernur, kepala kejaksaan, kepala polisi, dan lain-lain. ”Saya setuju dengan tuntutan Teungku Daud Beureueh. Ini taruhan saya,” kata Yasin sambil mencopot pangkat di pundaknya.

Teungku Daud Beureueh pernah mendiskusikan soal negara Islam dengan Bung Karno. Seberapa jauh pembicaraan mereka?

Pada 1947, Bung Karno datang ke Aceh dan bertemu dengan Teungku Daud. ”Saya minta kepada Kakak agar rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” ujar Bung Karno kepadanya. Teungku bersedia membantu perjuangan itu dengan syarat ”perjuangan ini untuk membela agama, sehingga kami akan mati syahid.” Ia menjawab ucapan Bung Karno sembari menyodorkan kertas.

Untuk apa?

Untuk meminta Bung Karno membuat pernyataan tertulis bahwa ia memang akan membuat Provinsi Aceh berdasarkan syariat Islam. Sukarno menitikkan air mata. ”Kok, sebagai presiden tidak dipercaya?” ujar Bung Karno. ”Bukannya kami tidak percaya. Surat itu akan saya tunjukkan kepada rakyat Aceh yang akan diajak ke medan perang,” sahut Teungku. Bung Karno lalu bersumpah, ”Wallahi, billahi, saya akan menggunakan kekuasaan saya untuk memenuhi keinginan Kakak. Akan saya bentuk daerah otonom Aceh yang bisa menjalankan syariat Islam.” Ia bersumpah menjalankan syariat Islam di Aceh.

Menurut Anda, Bung Karno serius?

Saya tidak tahu persis karena tidak menyaksikannya sendiri saat sumpah itu diucapkan. Tapi rakyat Aceh sangat kecewa mendengar pernyataan Sukarno di Amuntai, Kalimantan, setelah itu. Dalam pidatonya, Bung Karno menyatakan pemerintah tidak akan menolerir kehadiran negara Islam.

Seperti apa konsep negara Islam yang diinginkan Teungku Daud Beureueh?

Penerapan syariat Islam dalam segala segi kehidupan rakyat. Hukum Islam kan sudah lengkap: hukum menjalankan negara, hukum jual-beli, hukum perkawinan, dan sebagainya.

Kembali ke soal pemberontakan. Bagaimana rasanya menjadi anggota parlemen sembari punya mertua yang sedang berperang di hutan?

Memang agak dilematis. Dalam sebuah acara di DPR, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyebut saya sebagai ”pembela pemberontak yang paling setia.” Ha-ha-ha….

Apakah Anda mendukung pemberontakan itu?

Dua bulan sebelum memproklamasikan pemberontakannya-pada 23 September 1953-Teungku Daud mengutus Ayah Gani untuk menemui saya. ”Buah di atas pohon sudah sangat matang. Kalau tidak dipetik sekarang, nanti akan diambil orang,” begitu bunyi pesan dalam surat yang dibawa Gani.

Apa artinya?

Semangat memberontak sudah menyebar di seluruh Aceh. Kalau tidak disatukan dan dipimpin, situasi akan lebih kacau karena rakyat akan memberontak sendiri-sendiri.

Lalu, apa sikap Anda?

Secara pribadi, saya setuju dan berdoa untuk pemberontakan itu. Tapi saya katakan kepada Ayah Gani bahwa rakyat Aceh tidak memiliki biaya yang cukup. Tidak ada senjata. Kalau ada pihak asing yang menyokong dengan dana dan senjata, barangkali saya akan ikut berperang di hutan.

Selain dengan Teungku Daud, Anda punya hubungan dengan tokoh pergerakan Aceh lainnya: Hasan Tiro. Bagaimana hubungan ini berawal?

Dia salah seorang murid saya di Sekolah Normal Islam di Bireun, Aceh. Otaknya sangat brilian. Karena itulah saya memberinya berbagai jenis buku: agama, ekonomi, juga soal komunis. Beberapa tahun kemudian, dia berangkat ke Amerika lewat Filipina untuk belajar di Columbia University.

Apa betul Hasan Tiro pernah diminta membeli senjata untuk Gerakan Daud Beureueh?

Benar. Ketika Hasan Tiro di Amerika, dia dikirimi sejumlah uang untuk membeli senjata. Nah, karena pengiriman ini tidak terlaksana, beberapa orang seperti Hasan Saleh menjadi sangat kecewa terhadap Hasan Tiro. Di awal pemberontakan, Hasan Tiro mengangkat dirinya sebagai Duta Besar Negara Islam Aceh untuk PBB, tapi ditolak badan dunia itu. Ia hendak diusir oleh pemerintah Amerika. Berkat pertolongan dua senator, ia diizinkan tinggal di Amerika dengan membayar US$ 500.

Mengapa Hasan Tiro disebut sebagai wali negara? Apakah benar ia merupakan keturunan langsung Teungku Cik Di Tiro?

Memang ada berita seperti itu. Hasan Tiro merupakan cucu dari Cik Di Tiro. Tapi tidak diketahui dari Cik Di Tiro mana-di Aceh banyak Cik Di Tiro. Lagi pula, jalur yang dimiliki sampai ke Cik Di Tiro adalah jalur dari ibu-sementara Aceh menganut sistem patrilineal. Sebutan wali negara tidak jadi masalah. Itu gelar untuk pemerintahan-sederajat dengan gubernur-jadi bukan gelar kesultanan.

Bagaimana hubungan Hasan Tiro dengan Daud Beureueh?

Baik. Hasan Tiro pernah belajar di Pesantren Blang Paseh yang dipimpin Teungku Daud. Mungkin karena hubungan itulah, di saat Teungku Daud sudah tua, dia kembali terkena masalah. Pada 1978, ia diminta pemerintah-saat itu di bawah rezim Soeharto-untuk menjadi “saksi” sebuah kasus jihad di Surabaya.

”Saya sudah tua. Ke masjid yang dekat pun sudah tidak pernah lagi. Saya buat kesaksian tertulis saja,” kata Teungku Daud. Tapi ia kemudian dibawa secara paksa ke Jakarta.

Lantas, ke mana ia dibawa?

Kasus jihad di Surabaya itu cuma fiktif. Teungku kemudian diasingkan di rumah menantunya Brigjen Muhammadiyah Hadji. Beberapa bulan kemudian, dia pindah ke rumah kontrakan dan hidup seperti burung dalam sangkar. Beberapa tahun kemudian, baru dia dipulangkan ke Aceh, tapi tetap dijaga tentara. Rakyat tidak boleh menengoknya.

Apakah saat itu Teungku Daud terang-terangan mendukung GAM Hasan Tiro?

Saya tidak yakin. Saat itu, Teungku Daud sudah sangat tua.

Sebagai bekas guru Hasan Tiro, apakah Anda sering berkontak saat ia membangun GAM?

Saya tidak pernah mengontaknya. Memang, pada 1959, saat saya sebagai anggota DPR berkunjung ke Amerika, kami bertemu karena Hasan Tiro yang menjadi penunjuk jalan di sana. Lalu, sekitar 10 tahun lalu, saat dia pulang ke Indonesia, Hasan Tiro mampir ke rumah saya di Jakarta. Saat itu dia sudah tidak dicekal. Tapi, sewaktu berangkat ke Swedia, dia kembali dicekal pemerintah.

Bagaimana figur Hasan Tiro di mata Anda?

Saya amat mengagumi kecerdasannya. Saya adalah orang yang dibesarkan dalam dunia akademis. Sewaktu bersekolah di Al-Azhar, Kairo, saya bergaul dengan berbagai jenis buku. Tapi, ketika saya menemui Hasan Tiro di Amerika, saya sungguh kagum dengan koleksi bukunya. Masya Allah, kok, bisa sebanyak itu!

Apa pendapat Anda tentang kondisi GAM sekarang-dibandingkan dengan GAM-nya Hasan Tiro pada 1976?

Saat ini GAM sudah terpecah-pecah. Ada GAM Hasan Tiro, ada GAM Huseini di Malaysia, bahkan saya mendengar sudah ada GAM-GAM-an seperti GAM Cijantung. Ini membingungkan rakyat. Makanya, masalah Aceh saat ini sudah sangat rumit. Banyak faksi yang terlibat.

Kalau pemerintah mau berdialog, sulit untuk memilih lawan dialognya. Dulu, pada suatu masa, untuk membicarakan masalah Aceh, pemerintah, misalnya, tinggal berbicara dengan Teungku Daud Beureueh. Dia relatif mewakili seluruh kepentingan Aceh pada masa itu.

Apakah Anda punya pendapat pribadi soal penyelesaian Aceh?
Banyak opsi yang ditawarkan. HUDA menginginkan opsi merdeka. Mereka tidak bisa ditawar lagi. Padahal, kalau kemerdekaan bagi Aceh dipaksakan, akan terjadi pertumpahan darah. Pemerintah pusat dan DPR tidak menerima kemerdekaan Aceh sehingga TNI bisa kembali ke Aceh untuk menumpas rakyat. Sedangkan opsi otonomi yang seluas-luasnya juga tidak akan diterima rakyat. Sebab, kini rakyat menganggap bahwa otonomi luas hanyalah tipuan Jakarta.

Kalau harus memberi pilihan, kira-kira apa yang Anda pilih?

Negara federal. Memang, ini pun banyak ditentang orang. Tapi, kalau kita ingin mempertahankan Aceh, itu solusi yang paling tepat. Dengan federalisme, rakyat Aceh akan merasa seperti sudah merdeka. Indonesia juga tidak perlu kehilangan Aceh. Aceh bisa mengurus dirinya sendiri kecuali untuk tiga bidang: pertahanan, hubungan luar negeri, dan bidang keuangan.

Sejak zaman kolonial dulu, rakyat Aceh dikenal sangat keras-seakan-akan ada ”potensi pemberontakan” di dalam dirinya. Mengapa?

Orang Aceh keras dan tidak bisa dihina. Kalau sakit hati, mudah memberontak. Ini memang karakter khas orang Aceh. Dulu, Belanda sulit menguasai Aceh. Sekarang, Indonesia pun pusing karena masalah Aceh.

Sumber: Tempo Interaktif

Tinggalkan komentar