Posted on 29/04/2013 by Ruslan Baranom
Makam Sultan terakhir Aceh yang terletak di Rawamangun, Jakarta Timur. Ia mangkat pada tanggal 6 Februari 1939
:: Serambi Indonesia | 14/07/2010 ::
Oleh: M. Adli Abdullah
DALAM catatan minggu ini, saya mengingatkan tragedi Sultan Aceh yang terakhir. Kisah Sultan Aceh memang banyak dikupas yang indah dan kemegahan yang melingkupi mereka. Ketika Sultan Aceh terakhir ini menghadapi penjajah Belanda, hidupnya sangat menderita.
Ini tentu berbeda dengan raja-raja lain di Nusantara yang mengakui keberadaan penjajah kolonial. Mereka menerima kemegahan dan status sosial dari keturunannya. Terkait raja Aceh, kehidupan mereka jarang diangkat apalagi menjadi bahan diskusi kebudayaan Aceh.
Ketika agresi kedua Belanda (Desember 1873) dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten berusaha membujuk Sultan bersedia mengikat perdamaian dengan Belanda. Surat itu diantar oleh kurir Belanda yakni Mas Soemo Widikdjo pada 23 Desember 1873 bersama empat pengiringnya.
Sultan tidak mengacuhkan tawaran itu dan memerintahkan kepada pasukan dan rakyat supaya memperhebat perlawanan di mana-mana. Membela tiap jengkal tanah dengan pengorbanan yang betapapun besarnya (Talsya:1981:38). Baca lebih lanjut →
Filed under: Sejarah | Leave a comment »
Posted on 27/04/2013 by Ruslan Baranom
Potret Tuanku Raja Ibrahim (Duduk, Tengah), Putra Mahkota Terakhir Kerajaan Aceh Darussalam Bersama Pengawalnya pada Tahun 1903
:: Serambi Indonesia | 31/01/2010 ::
Oleh: M. Adli Abdullah
SEJARAH Sultan terakhir Kerajaan Aceh Darussalam, sudah saya nukil minggu lalu. Kali ini, mengulas kegetiran Tuanku Raja Ibrahim putra Mahkota Kerajaan Aceh yang boleh dikatakan dia hidup luntang lantung bersama ayahnya Sultan Muhammad Daud Syah (1878-1939).
Riwayat getir kehidupan pejuang Aceh ini bermula ketika Kapten Van Der Maaten menyandera dan menangkap ibunya pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid. Saat itu, Ibrahim berusia enam tahun ketika disandera di Gampong Glumpang Payong Pidie.
Gubernur Sipil dan Militer van Heutsz mengultimatum; “Jika dalam sebulan Sultan menolak menyerah, maka anak dan istrinya dibuang dari Aceh.”
Baca lebih lanjut →
Filed under: Sejarah | Leave a comment »
Posted on 25/04/2013 by Ruslan Baranom
Potret Habib Abdoe’rachman, 1878
:: Serambi Indonesia | 13/09/2009 ::
Oleh: M. Adli Abdullah
MENYAMBUNG catatan yang tercecer minggu lalu, kali ini saya akan menukil bagaimana kiprah Habib Abdurrahman selama berada di tanah Hijaz.
Habib Abdurrahman Az Zahir (1832-1896) yang masuk ke Aceh pada tahun 1864, atas rekomendasi Sultan Johor ini, sempat kawin dengan janda Sultan Sulaiman Syah, ibunda dari Sultan Alaidin Mahmudsyah dan menjadi perdana menteri dan menteri luar negeri Kerajaan Aceh Darussalam, kembali ke tanah Hijaz setelah menyerah kepada Belanda pada tanggal 13 Oktober 1878M.
Dia lalu menerima pensiun dari pemerintah Belanda 10.000 dollar per bulan. Dan kemudian dia hidup dalam keadaan tenang di sana.
Baca lebih lanjut →
Filed under: Sejarah | Leave a comment »
Posted on 25/04/2013 by Ruslan Baranom
IA merupakan cucu kesayangan Saidi Mukkamil IV (1589-1604). Raja Aceh itu lahir dari pasangan Putri Raja Indera Bangsa atau Paduka Syah Alam dan Mansyur Syah.
Aceh meusjeuhu makmu ngon meugah/ Masa peurintah Iskandar Muda; Rakyat lam nanggroe sidro tan susah/ Lasyeka neuh le guda ngon gajah; Panglima tjeudah gagah peurkasa/ Kareuna adee wasee meulimpah; Uluwa meugah geukirem lada/ Keuradjeuen neumat sangat that luwah; Habeeh neudjadjah saboh Sumatra/ Ho neu madju prang reudjang that keumah; Keuradjeuen luwah trooh u Meulaka/ Radja djidjundjoong eek troon dji seumah; Adee peurintah Iskandar Muda/ Kapai ngon sampan muwatan booh bah; Ladoom na leupah nanggroe Eropa.
Baca lebih lanjut →
Filed under: Sejarah | Leave a comment »
Posted on 25/04/2013 by Ruslan Baranom
Sultan Muhammad Daud Syah
:: Serambi Indonesia | 24/02/2013 ::
Oleh: M. Adli Abdullah
SAYA tertarik menulis artikel ini setelah membaca berita di harian Serambi Indonesia (7/2/13) dengan judul “Keturunan Raja se-Aceh Lakukan Pertemuan” dalam rangka memperingati 74 tahun mangkatnya Sultan Muhammad Daud Syah (6 Februari 1939). Muhammad Daud Syah yang mangkat dalam pembuangan di Pulau Jawa dibuang oleh pemerintah Belanda ke luar Aceh pada 24 Desember 1907, karena dianggap tidak bisa diajak berkerja sama dengan Belanda.
Dia bersama keluarga inti diraja yaitu anaknya Tuanku Raja Ibrahim dan Teungku Bungsu serta pengikutnya ke luar Aceh yaitu ke Bandung dan Ambon. Pada tahun 1918 dipindahkan ke Jatinegara, Jakarta, sampai beliau wafat pada hari senin, 6 Februari 1939 dan dimakamkan di Pekuburan Umum Kemiri, Rawamangun, Jakarta. Lokasi pusaranya berdekatan dengan kampus Universitas Negeri Jakarta.
Baca lebih lanjut →
Filed under: Sejarah | Leave a comment »