• Arsip

  • Kategori

  • Online

  • Angka Statistik

    wordpress blog stats

Bau Pinus di Hutan Leuser


Leuser

Taman Nasional Gunung Leuser

:: majalah tempo | 04/01/2004 ::

Oleh: Nurdin Kalim

Gajah, harimau Sumatera, badak, beruang madu, orangutan, dan Rafflesia arnoldi akan menjadi cerita masa lalu jika rencana Ladia Galaska tetap dilanjutkan.

PAGI di ambang November 2003. Sinar matahari bersijingkat di atas puncak Gunung Leuser, mengantarkan warna kuning di atas kawasan hutan lindung itu. Awan tipis. Suara kicau burung. Teriakan siamang memecah hari yang masih baru. Dari sebuah sudut jalan Kutacane-Blangkejeren, Nanggroe Aceh Darussalam, Leuser berubah menjadi pentas teater maharaksasa.

Sungai Alas meliuk membelah hutan yang dirimbuni pohon pinus dan meranti. Sinar surya menerpa permukaan sungai. Persanggamaan air dan cahaya melahirkan kaca-kaca cermin di sepanjang sungai: bersinaran, memantulkan bayang burung-burung yang terbang di sepanjang aliran.
Bau pinus meruap. Juga aroma hutan yang basah oleh embun. Di kejauhan, Gunung Leuser berdiri tegak. Awan tipis merambati puncaknya.

“Dulu Leuser adalah surga bagi para satwa,” kata Asrial, seorang pengusaha arung jeram yang menemani saya menapaki hutan perawan Leuser pagi itu. Tiga tahun lalu, pria itu masih kerap bertemu aneka satwa di sana.

“Tapi, belakangan ini, saya agak jarang bersua mereka,” katanya. Hutan Leuser dikukuhkan menjadi Kawasan Ekosistem Leuser melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 227/Kpts-II/1995. Surat keputusan itu dikuatkan oleh Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1998.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) penting bukan hanya karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi, tapi juga karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat di Pulau Sumatera bagian utara. Dengan luas 2,6 juta hektare, KEL membentang dari Danau Laut Tawar di Nanggroe Aceh Darussalam hingga Danau Toba di Sumatera Utara.

Ada 15 kabupaten tercakup di dalamnya: Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Barat Daya, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Nagan Raya, Deli Serdang, Langkat, Tanah Karo, dan Dairi. Secara geografis, KEL berada pada 3-4,5 derajat Lintang Utara dan 96-98 derajat Bujur Timur.

Kawasan ini merupakan hutan hujan tropis dengan sekitar 890 ribu hektare di antaranya telah ditetapkan sebagai taman nasional. Termasuk di dalamnya adalah Taman Nasional Gunung Leuser seluas 792 ribu hektare.

Pada ekosistem itu juga terdapat dua gunung berapi, tiga danau, dan sembilan sungai utama yang mengalir ke pantai timur dan barat Aceh. Jumlah hujan rata-rata per tahunnya 2.544 milimeter. Suhu rata-rata harian di bawah kerindangan hutan dataran rendah jarang melebihi 26 derajat Celsius pada siang hari, dan di bawah 22 derajat Celsius pada malam hari.

Di mata para peneliti dunia, Leuser adalah satu di antara keajaiban dunia di bidang ekologi, di samping ekosistem Manu, Amazon, Brasil, dan Kongo di Zaire, Afrika. Profesor Herman Rikjsen (Belanda) dan Profesor Carel van Schaik (Amerika Serikat) menyimpulkan bahwa kawasan Leuser menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat padat di dunia.

Di sana terdapat lebih dari 4.000 spesies fauna dan flora yang sebagiannya tergolong langka. Di antaranya adalah Rafflesia arnoldi (bunga terbesar di dunia) dan Anophaphallus titanum alias bunga bangkai (bunga tertinggi di dunia).

Peneliti ekologi terkemuka, Dr. Kathryn A. Monk dari Inggris, menyimpulkan bahwa 40 persen dari spesies keanekaragaman hayati dalam gugusan hutan tropis Indomalaya Barat terdapat di kawasan ini. Di dalam ekosistem Leuser terdapat 196 jenis mamalia, 15 di antaranya hanya hidup di Indonesia dan Malaysia, seperti orangutan (Pongo pygmaeus).

Yang lebih menakjubkan, di dalam Kawasan Ekosistem Leuser terdapat lima mamalia besar—gajah, harimau Sumatera, badak, beruang madu, dan orangutan—yang hidup berdampingan dalam satu komunitas. Dan di seluruh dunia, komunitas bersama seperti itu hanya ada di Leuser.

Tak cuma itu. Di dalam ekosistem Leuser juga terdapat mamalia besar lainnya. Beberapa di antaranya adalah beruk (Macaca namestrina), anjing hutan (Cuon alpinus), kancil (Tragulus javanicus), macan tutul (Neofelis nebulosa), rusa sambar (Cervus unicolor), kambing hutan (Capricornis sumatrensis), kukang (Nycticebus coucang), dan kedih (Presbytis thomasi). Setidaknya, 32 jenis mamalia dunia bisa ditemukan di tempat ini.

Upaya mempertahankan ekosistem Leuser sebenarnya telah dimulai sejak akhir 1920-an. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda berencana melakukan penggalian minyak dan mineral di sekitar Gunung Leuser. Tapi para pemuka adat di Aceh Selatan menolak keras rencana itu. Mereka tak ingin Gunung Leuser, yang dianggap sebagai gunung keramat, diganggu apalagi dirusak.

Pro-kontra membuncah, yang kemudian disusul perundingan yang alot antara kedua belah pihak. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda dan para pemuka adat Aceh itu bersepakat melakukan konservasi terhadap kawasan Leuser. Dokumen resmi pertama yang melindungi kawasan itu ditandatangani pemerintah Hindia Belanda dan para pemuka adat pada 6 Februari 1934. Kesepakatan itu dikenal sebagai “Deklarasi Tapaktuan”. Waktu terus berlalu dan menghapus ingatan banyak orang tentang kesepakatan itu.

Sekitar 50 tahun kemudian penebangan liar di Leuser mulai terjadi. Hak pengusahaan hutan (HPH) juga mulai dikeluarkan oleh pemerintah untuk para pengusaha. Penjarahan hutan di Leuser, baik di Sumatera Utara maupun Nanggroe Aceh Darussalam, tak terbendung.  Data Unit Manajemen Leuser (UML) menunjukkan, pada 1985 luas hutan Leuser yang rusak telah mencapai 229.570 hektare dan areal gundul 27.410 hektare. Hanya 10 tahun kemudian, luas hutan yang meranggas bertambah dua kali lipat: hutan rusak menjadi 653.482 hektare dan areal gundul menjadi 262.564 hektare.

Menurut Yarrow Robertson, Manajer UML, kawasan yang menjadi idola para penjarah hutan adalah dataran rendah. Sebab, hanya dataran rendah yang mampu memproduksi kayu bulat berdiameter besar dan berkualitas tinggi. “Pembalakan hutan (illegal logging) paling parah terjadi di kawasan Sikundur (Langkat) yang berbatasan dengan Aceh,” ujar Yarrow, sedih.

Ironisnya, Yarrow menambahkan, dataran rendah itu merupakan rumah bagi sedikitnya 4.500 jenis tanaman tropis, 392 mamalia, 434 burung, 171 jenis reptil dan amfibi, 350 jenis serangga, dan 81 jenis ikan. Sebagian makhluk alam seperti badak Sumatera (Dicirorhinus sumatrensis), orangutan (Pongo pygmaeus), dan bunga raksasa Rafflesia arnoldi kini mulai sulit ditemukan. Menurut Yarrow, selain indah dan kaya, ekosistem Leuser juga rapuh sehingga harus dilindungi.

Sebagian besar daerah yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser memiliki ketinggian lebih dari 1.500 meter dan kemiringan lebih dari 45 persen. Karakteristik tanah di sana sangat peka longsor. Kondisi itu sangat rawan terhadap bencana alam—seperti banjir dan erosi—bila hutannya terus digunduli.

Menurut bekas Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, bila ekosistem Leuser terus dijarah, yang dirugikan adalah masyarakat sekitar. Sebab, di samping memiliki keanekaragaman hayati yang unik dan bernilai tinggi, “Leuser juga berfungsi sebagai penyangga kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitarnya,” ujar Emil. Emil merujuk penelitian tentang nilai ekonomi Leuser yang dilakukan Pieter van Beukering dan Herman Cesar pada 2001.

Berdasarkan hasil penelitian itu, fungsi Leuser sebagai jasa ekologi bernilai ekonomi lebih dari Rp 1,9 triliun per tahunnya. Jasa-jasa ekologi yang diperoleh mencakup penyediaan air bersih, plasma nutfah, pengendalian erosi dan banjir, penyerapan karbon, pengaturan iklim lokal, perikanan air tawar, dan keindahan alam yang bisa dimanfaatkan untuk industri pariwisata. Baik Emil maupun Yarrow menyarankan agar proyek jalan Ladia Galaska sebaiknya dihentikan.

Tapi, tampaknya tak ada tanda-tanda proyek itu akan distop. Sebagian ruas jalan sudah mulai dikerjakan. Bunyi traktor, truk, dan mobil pengeruk menderu-deru. Air, kaca-kaca cahaya, serta bau pinus dan humus di bawah rumpun meranti tampaknya akan segera jadi mimpi….

Tinggalkan komentar