• Arsip

  • Kategori

  • Online

  • Angka Statistik

    wordpress blog stats

Tradisi Bakar Lemang; antara Etnis Aceh dan Bumi Nusantara


Lemang bambu sedang dimatangkan dengan cara dipanggang

Lemang bambu sedang dimatangkan dengan cara dipanggang

AROMA itu sungguh menggoda. Siap menggugah selera para penikmatnya. Adonan santan dan beras ketan menyatu dalam bambu-bambu buluh yang berderetan dibakar untuk mematangkannya. Dan kemudian menjelma jadi kudapan yang tersaji dalam bentuk potongan-potongan kecil yang siap untuk disantap. Prosesnya sering disebut bakar lemang.

Bahasa Aceh menyebutnya toét leumang (bakar lemang). Tradisi ini lazim menggeliat jelang dan masa bulan suci Ramadan. Sering disantap saat berbuka puasa. Bagi masyarakat Indonesia di luar Aceh, penganan ini dikenal dalam beberapa nama, yang di antaranya: lomang (Batak), lemang (Melayu), dan lamang (Minangkabau). Di Indonesia umumnya disebut lemang.

Tradisi bakar lemang telah banyak tersebar di banyak penjuru Bumi Nusantara (Asia Tenggara). Utamanya didominasi oleh masyarakat yang dikategorikan rumpun Melayu Muda (Deutro Melayu). Ada semacam ketidaklengkapan, manakala tradisi bakar lemang terlupakan saat menyambut bulan suci Ramadan.

Semarak menyambut kedatangan bulan suci Ramadan memang dirayakan bervariasi di setiap puak masyarakat. Tak sekadar di ranah kuliner semata.

Tumpukan lemang bambu yang siap untuk dipanggang

Tumpukan lemang bambu yang siap untuk dipanggang

Ada kemungkinan lemang bambu sering dilakukan agar mudah dibawa tatkala sedang melaksanakan perjalanan jauh di masa lampau. Karena dapat bertahan dalam beberapa hari sebagai makanan dalam perjalanan. Dan tentu saja kelebihan lainnya adalah tak mudah basi.

Apalagi di masa silam kebanyakan masyarakat di Nusantara menggunakan pola hidup nomaden (berpindah-pindah tempat). Begitu pun dengan para penyiar agama Islam yang dahulu berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan sering tak menetap dalam jangka waktu yang lama di suatu tempat tertentu.

***

Tradisi menyantap lemang bambu yang pematangannya diproses dengan cara dibakar atau dipanggang telah membumi dalam masyarakat Nusantara yang tersebar di Indonesia, Malaysia, dan Singapura (dahulu Tumasik, yang merupakan bagian wilayah dari Johor sebelum dibeli Inggris). Kuliner lemang bambu bahkan telah menjadi identitas budaya etnis Melayu di Malaysia dan Singapura.

Menengok bambu buluh yang telah diisi dengan beras ketan sebagai bahan utama penganan lemang

Menengok bambu buluh yang telah diisi dengan beras ketan sebagai bahan utama penganan lemang

Tak ada catatan sejarah yang secara spesifik menjelaskan tentang beras yang diolah dan dipanggang dalam bambu buluh tersebut. Terutama di Indonesia. Sedangkan di Malaysia –khususnya di Semenanjung Malaya– kolonial Inggris pernah memuatnya dalam catatan tahun 1864: The Cambridge World History of Food. Walau sekadar cara memasak beras dalam bambu buluh –bukan lemang yang disajikan sebagai penganan.

Lemang yang telah matang

Lemang yang telah matang

Menurut sejarah lisan yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, tradisi malamang (memasak lemang) bermula dari kebiasaan penduduk setempat ketika Syeikh Burhanuddin (1649 – 1692 M) masih hidup.

Syeikh Burhanuddin mendatangi warga yang sedang memasak lemang –biasanya dilakukan warga berkelompok– untuk menyampaikan syiar Islam. Dan hingga kini, tidak hanya jelang memasuki bulan suci Ramadan tradisi malamang popular di Sumatera Barat; tapi dilaksanakan hampir pada setiap hari-hari besar Islam seperti: Maulid Nabi, Idul Adha, dan Idul Fitri.

Masyarakat Batak di Tapanuli Selatan yang berdekatan dengan Sumatera Barat, juga mengenal lemang dengan sebutan “lomang”. Saat ini, penganan lemang Nusantara telah tersebar hingga ke Kalimantan dan Sulawesi.

Sangkut-paut etnis Aceh dengan tradisi bakar lemang yang telah menyebar dan menyatu dengan budaya beberapa etnis lainnya di Bumi Nusantara, diduga, erat kaitannya dengan peristiwa masa lampau. Baik itu melalui jalur dakwah Islam maupun pengaruh interaksi sosial antar-etnis di waktu silam –khususnya antara penduduk yang berasal dari Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya.

Efek alamiah ini muncul sebagai konsekuensi dari persilangan budaya. Dan, masih dapat dijumpai hingga saat ini di Aceh. Maka tak heran, bila tradisi bakar lemang diklaim sebagai warisan budaya masing-masing etnis; tanpa disertai bukti otentik dan akurat tentang klaim tersebut. Bahkan, catatan kolonial Inggris (1864 M) tentang memasak beras dalam bambu yang dijumpai dalam masyarakat Melayu di Semenanjung Malaya, juga tak bisa membuktikan bahwa tradisi bakar lemang merupakan milik etnis Melayu (Malaysia). Sebab tradisi ini telah lama ada, sebelum masuk dalam catatan kolonial Inggris.

Sampai kini, lemang yang jadi kuliner khas Bumi Nusantara masih berstatus “tanpa pemilik tunggal”. Kendati demikian, ketidakjelasan “status pemilik” tak mengurangi minat masyarakat Bumi Nusantara untuk tetap melestarikan kuliner yang telah merupakan warisan budaya tersebut. Apalagi di bulan suci Ramadan yang menghidangkan banyak pilihan kuliner untuk menu santap berbuka puasa.

Lemang siap disajikan untuk disantap

Lemang siap disajikan untuk disantap

Jika dahulu lemang hanya menggunakan satu jenis beras dan tak ditemukan banyak pilihan untuk disantap dengan pelbagai makanan pendamping serta bumubu-bumbunya, kini lemang telah tersaji dalam pelbagai variasi, yang pastinya tetap sedap saat disantap. Tergantung selera masing-masing penikmat.

Dengan demikian, sudah menjadi tugas kita bersama untuk tetap melestarikan tradisi bakar lemang supaya khasanah kuliner Bumi Nusantara tak hilang ditelan perkembangan zaman yang kian massif dan menawarkan pelbagai kuliner asing, yang bisa saja berpotensi mengurangi minat generasi baru dalam menjaga dan memelihara kuliner khas Nusantara, yang tak lain mencerminkan identitas bangsa dan budaya suatu wilayah di era globalisasi, seperti saat ini.***

Tinggalkan komentar